asal usul nama indonesia
ASAL USUL SEJARAH NAMA
‘INDONESIA’
Secara astronomis Indonesia terletang pada 95°-141° Bujur Timur, dan 6° Lintang Utara sampai 11 Lintang Selatan. Secara geografis indonesia diapit 2 benua yaitu
: benua australia dan benua asia.sedangkan samudera yaitu : samudera hindia dan
pasifik, Indonesia dikenal pula dengan sebutan
Nusantara. Kata Nusantara berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu nusa yang
berarti pulau dan antara yang berarti hubungan. Jadi, Nusantara berarti
rangkaian pulau-pulau
dahulu indonesia dikenal Hindia Melayu, pada zaman dulu,
kepulauan tanah air kita disebut dengan berbagai nama. Dalam catatan bangsa
Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut
Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara
(Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa
(pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga
Valmiki menceritakan pencarian terhadap Shinta, istri Rama yang diculik Ravana
(Rahwana), sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang
terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah
air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan
adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan
Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax
sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra.
Kemudian pada zaman kedatangan orang Eropa ke Asia.
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya
terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang
luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan
mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”.
Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische
Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur”
(Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai
adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, Archipel
Malais).
Ketika kita menjadi koloni bangsa Belanda, nama
resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda),
sedangkan ketika pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo
(Hindia Timur).
Eduard
Douwes Dekker (2 Maret 1820 - 19 Februari 1887), yang dikenal dengan nama samaran
Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan
tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia”
(bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang
populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko
buku yang pernah ada di Jalan Otista.
E. Douwes Dekker
Pada tahun 1920-an, Ernest
Franasois Eduard Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi
(beliau adalah cucu dari adik Multatuli), mempopulerkan suatu nama untuk tanah
air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu adalah Nusantara,
suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.
Namun pengertian Nusantara yang diusulkan
Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa
Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan
pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar,
seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). seperti dalam Sumpah
Palapa dari Gajah Mada
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman
Majapahit itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil
kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu
“nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam
definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan
cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia
Belanda.
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah
ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia
(JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan
(1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas
Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George
Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi
majalah JIAEA. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya
bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas
(a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan
penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau
Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada artikelnya itu
tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan
Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia
(Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab
Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga
digunakan untuk Srilanka dan Maldives
(Maladewa). Lagi pula, menurut Earl, bahasa Melayu dipakai di seluruh
kepulauan. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan
tidak memakai istilah Indunesia. J. R. Logan
Dalam
JIAEA Volume IV itu juga, James Richardson Logan menulis artikel The
Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun
menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian
Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan mengambil nama
Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar
ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.Â
Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah
“Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa
istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara
lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918.
Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan. Putra
ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke Belanda tahun 1913
beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Meski Belanda menolak keras nama Indonesia, nama
itu terlanjur digunakan oleh masyarakat Indonesia terutama oleh kalangan pintar
Indonesia dalam membentuk nama organisasi dan dalam berbagai tulisan mereka.
Sampai Belanda kalah dari Jepang, Belanda tidak pernah mengakui nama Indonesia.
Bahkan nama Hindia Belanda masih kerap digunakan oleh dunia Internasional saat
pendudukan Jepang.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara
Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat)
mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat
menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia
menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena
melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk
mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala
tenaga dan kemampuannya.”
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische
Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan
Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk
kepanduan National Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah
tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”.
Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa
kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28
Oktober 1928,
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia"
yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh
tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama
"Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu
bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda
mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret
1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945,
menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.
Sumber : internet, Encyclopedia wikipedia